Semalem gue baru nonton
Interstellar. I can say it is a BRILLIANT
movie, though I don’t really understand the scientific things from the movie.
Waktu gue nonton, gue cuma ha’ah-he’eh doang kalo pemerannya lagi ngomongin
rumus-rumusan fisika. Kalau udah mulai muncul bahasa-bahasa ilmiah yang kurang
umum didengar, gue juga ha’ah-he’eh aja. Abisan ganggu banget kalau setiap ada
kata yang gue nggak ngerti, gue harus translate
dulu (gue nonton yang English subbed).
Sabodo teuing, “Yang penting gue ngerti jalan ceritanya”, pikir gue.
Setelah fimnya abis, gue menghela
nafas. Alih-alih tidur, gue diam sejenak membayangkan luar angkasa. Maklum,
lagi kena post-watching syndrome. Karena
gue masih penasaran dengan konsep ilmiahnya, gue Googling untuk mencari tahu
penjelasannya. WELL, gue puas banget
sama penjelasan beberapa Blogger yang ada. Sama seperti penonton pada umumnya,
gue paling bingung sama konsep dilatasi waktu dan konsep dimensi (the who are ‘they’ concept). Walaupun
nggak segitu pahamnya, tapi gue alhamdulillah sudah lebih paham dibanding
sebelum membaca penjelasan-penjelasan tersebut.
Sebenernya pada awal film gue
berpikir, “Takdir manusia itu kan kiamat di bumi. Ngapain sih susah-susah cari
planet di luar Bumi untuk menghindari kehancuran? Itu sih namanya melawan
kekuasaan Tuhan,”. Ah, namanya juga film. Jangankan konsep kiamat, konsep Tuhan
saja banyak perbedaan. Nonton film mah ngga usah serius-serius amat. Film
seperti ini ada buat dinikmati, bukan buat diteliti hehehee.
Hanya saja, kemudian hari ini gue
berkontemplasi… “Mengapa ya, (ini dan itu) terjadi pada gue?”. Ternyata film
tersebut bukan cuma sekedar bisa buat dinikmati. Melainkan bisa diambil
hikmahnya. Secara tidak sadar, manusia sering mempertanyakan hal-hal yang
terjadi pada dirinya dan sekitarnya. Rasa ingin tahu memang ada di dalam diri
setiap manusia karena sudah merupakan fitrah manusia. Berawal dari rasa ingin
tahu inilah kemudian manusia menjawab keingintahuannya dengan berpikir
filosofis; berpikir secara radikal, sistematis, dan kritis.
Satu hal yang gue sadari, manusia
memiliki batas. Kalau manusia beranggapan dirinya tidak memiliki batas, maka
dia akan selalu mencari tahu jawaban atas pertanyaan yang dimilikinya tanpa
berhenti pada suatu kesimpulan. Kenyataannya, suatu tanda tanya akan mengungkap
tanda tanya lainnya. Begitu seterusnya sampai level infinity.
Pertanyaan gue tadi siang
tersebut mengingatkan gue pada film Interstellar yang gue tonton tadi malam.
Seperti film brilian Christopher Nolan yang biasanya, Interstellar juga
meninggalkan tanda tanya pada penontonnya. Pada akhir film, Cooper menyimpulkan
bahwa ‘they’ adalah dirinya sendiri
ketika berada pada dimensi kelima buatan manusia masa depan. Lalu muncul
pertanyaan, “Bagaimana jika Cooper tidak masuk ke black hole dan bumi tidak terselamatkan? Manusia masa depan itu
siapa dong?”. Nah lho, emang bingung kalau nggak sadar kita ini punya batasan.
Untuk menjawab pertanyaan ini,
kita diingatkan oleh Murphy’s Law yang terus-terusan disinggung sejak film
dimulai. Murphy’s Law yang asli menyebutkan bahwa, “Anything that can go wrong, will go wrong”. Tapi mengenai Murphy’s Law, Cooper punya
perbedaan point of view,
“Murphy’s law doesn’t mean that something bad will happen. It means that whatever can happen, will happen”.
Setuju banget sama Cooper, whatever can
happen will happen. Intinya,
manusia masa depan itu ada karena bagaimanapun juga Cooper pasti masuk ke black hole dan mengirimkan pesan ke Murphy. Hal itu merupakan
peristiwa yang sudah digariskan terjadi. Siapa yang menggariskannya? Ya
sutradara filmnya, hahaha.
Nah, itu kan kalau ngomongin film. Kalau
ngomongin kehidupan nyata bagaimana? Berkaca dari kesimpulan tadi,
semua yang terjadi pada kehidupan telah digariskan oleh Sang Sutradara. Lalu
siapa sutradara ‘film’ yang gue mainkan saat ini? Allah SWT jawabnya. Melalui
kontemplasi tadi siang, gue diingatkan kembali oleh Allah bahwa semua yang
terjadi di alam semesta ini ada yang mengatur. Kita di sini hanya pemain yang
melakoni skrip Sang Sutradara. Kita bisa melakoni skrip dengan gaya apapun yang
kita inginkan. Tapi kita harus ingat, bahwa alur ‘film’ kita sudah diatur dalam
‘skrip’Nya.
Jadi, kalau boleh sedikit curcol,
tadi siang gue menitikan air mata. Gue sedih dengan apa yang gue alami beberapa
waktu terakhir ini. Gue merasa Allah tidak adil. Kenapa orang lain bernasib seperti 'itu', sedangkan gue bernasib seperti 'ini'. Kalau
bisa gue memutar waktu, gue akan hindari semuanya sehingga gue tidak perlu menjadi seperti ini. There are some events I
wish I could fix or avoid.
But then I wake up. Ngapain berandai-andai? Toh semua sudah
terjadi. Whatever can happen will happen,
kalau menyinggung Murphy’s Law. Gue
nggak usah bertanya kenapa hal ini atau hal itu terjadi sama gue. They just happen.
Kemudian gue teringat akan perkataan kakak gue. Dia bilang,
“Everything happens forano reason”.
Awalnya gue bingung. Tapi kemudian kakak gue mengajukan pertanyaan, "Emangnya kamu tahu kenapa Mama tugas kerjanya di Sumatera? Kenapa nggak di Pulau Jawa aja?". "Hmmm, memang barokahnya di situ?", gue jawab. "Itu kan persepsi kamu aja. Kamu mah nggak tau alasan konkretnya apa. Yang tau ya cuma Allah", begitu kakak gue bilang. "Tapi persepsi kamu itu bukan berarti salah. Kita memang harus punya persepsi yang baik sama Allah. Yang penting kita berhusnudhon-billah, percaya sama Allah yang baik-baik aja", lanjutnya. "Everything happens for no reason to us, but Allah", kakak gue menyimpulkan.
I couldn't agree more! Dengan berpikir seperti itu, gue nggak perlu sulit-sulit mencari
alasan atas terjadinya suatu event dalam
kehidupan kita. Allah pasti punya alasan, dan itu pasti alasan yang sangaaaaat
baik di mataNya.
"....boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui"
(QS:Al-Baqarah:216)
Gue pernah dikecewakan oleh plot
hidup gue yang nggak sesuai sama yang gue bayangkan. Gue rasa, semua orang
pernah ya? Tapi dari kekecewaan itu gue belajar, bahwa nggak semuanya berjalan
seperti apa yang kita impikan. Kita punya plot, Allah juga punya plot. Dan
semuanya bukan terjadi sesuai dengan plot kita, melainkan plot Allah. Dan plotNya
tentu jauh lebih baik daripada plot kita.
Sejujurnya sih, sebagai manusia
biasa, terkadang gue kecewa ketika merasa apa yang gue harapkan tidak kunjung terjadi.
Gue kecewa ketika merasa plot Allah dan plot gue begitu berbeda. Tapi gue
selalu camkan pada diri sendiri, kalau saat ini gue sedang menjalani plotnya
Allah, bukan plot gue sendiri. Dan gue kembali optimis kala mengingat bahwa
plot Allah bisa saja berubah seiring dengan doa yang gue panjatkan. Mungkin doa
gue belum dikabulkan karena doa-doa itu terkirim untuk menghapus dosa-dosa gue?
Who knows.
So, instead of questioning our own plot twist, jalani saja plot yang ada, and be surprised.